Rabu, 30 Juni 2010

Meteorit Berjatuhan

PERALIHAN dari April ke Mei 2010 jadi saat yang menghebohkan, ketika empat hari berturut-turut meteorit jatuh di dua tempat. Pertama menghantam sebuah rumah di Kelurahan Malakasari, Durensawit, Jakarta Timur, 29 April pukul 16:15 WIB. Kedua mendarat di punggung bukit Desa Tori, Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, 3 Mei pukul 20:30 WITa.


Kedua peristiwa langka itu memantik rasa ingin tahu khalayak. Bahkan ada yang mengaitkan dengan isu bakal terjadi kiamat tahun 2012, yang tak memiliki dasar ilmiah. Bagi masyarakat Jawa Tengah, peristiwa itu menyegarkan ingatan akan kejadian serupa di lereng Gunung Sumbing sembilan tahun silam.


Meteor adalah setiap benda asing alami, yang setelah mengembara di angkasa masuk ke atmosfer suatu planet hingga berpijar membara dan bercahaya akibat gesekan dengan molekul udara. Meteor dikenal pula sebagai bintang jatuh atau tahi bintang, yang terlihat sebagai goresan bercahaya di langit malam yang muncul sekejap mata dan seterang bintang-bintang. Adakalanya meteor terlihat sangat terang, melebihi Planet Venus, benda langit paling terang ketiga dilihat dari Bumi.


Meteor semacam itu adalah ndaru (fireball), yang memiliki magnitude visual minimal -4. Beberapa ndaru bisa memiliki magnitude visual melebihi -6, sehingga bisa dilihat pada siang bolong, bila kondisi memungkinkan, sebagai objek berekor melintasi langit.


Sebelum memasuki atmosfer, seluruh meteor merupakan meteoroid, dengan ukuran beragam dari sebesar debu (~ 1 mm) hingga melebihi Gunung Everest (~ 10 km). Hampir seluruh meteoroid terbakar habis di atmosfer sebagai meteor karena lebih kecil dari diameter batas. Namun ada meteoroid yang lebih besar dari diameter batas sehingga bisa mencapai permukaan Bumi sebagai meteorit. Jatuhnya meteorit selalu didahului kemunculan ndaru dengan magnitude visual minimal -8 atau seterang Bulan fase perempat.Hampir seluruh meteorit di Bumi berasal dari debu komet atau pecahan asteroid.


Kala komet periodik beredar di orbit, tekanan angin Matahari membuat debu rapuh sehalus bedak terlepas dari permukaannya dan terserak di sepanjang garis edar. Bila Bumi melintasi garis edar itu, debu tersebut menjadi meteoroid yang selanjutnya masuk ke atmosfer sebagai puluhan atau ribuan meteor setiap jam, layaknya hujan, dan seolah-olah berasal dari satu titik di langit. Itulah hujan meteor periodik.


Di sisi lain, kepadatan populasi asteroid di antara orbit Mars dan Jupiter membuatnya berbenturan sehingga pecah berkeping-keping. Karena gangguan Jupiter, orbit pecahan itu berubah secara gradual sehingga bisa membentuk orbit baru yang memotong orbit Bumi. Ketika Bumi tepat melintasi titik potong itu, terjadilah meteor spontan. Meteor spontan tak bisa menciptakan sensasi layaknya meteor periodik, tetapi dengan kecepatan awal lebih rendah serta ukuran dan kepadatan lebih besar membuatnya mampu menghasilkan meteorit.


Samudra Purba


Dalam kondisi tertentu, yakni ketika orbitnya berpotongan dengan orbit Bumi, komet dan asteroid bisa menjadi meteoroid, yang dinamakan boloid. Setiap meteoroid atau boloid dari komet memiliki rentang kecepatan awal 30 hingga 72 km/detik (atau 108.000 hingga 259.000 km/jam) ketika jatuh ke Bumi. Adapun meteoroid atau boloid dari asteroid memiliki rentang kecepatan awal lebih rendah, yakni hanya antara 11 dan 20 km/detik (atau 39.000 hingga 72.000 km/jam).


Boloid dari komet menciptakan sejarah unik dalam dinamika Bumi. Pada masa awal Tata Surya, jutaan komet susul-menyusul menjatuhi Bumi, khususnya pada periode antara 3,9 dan 2,8 miliar tahun silam. Pe-ristiwa itu, yang dinamakan Periode Hantaman Besar, membuat bopeng wajah Bumi. Namun sekaligus menebar rahmat, karena setiap komet mengangkut senyawa terpenting bagi makhluk hidup: air.


Air di Tata Surya hanya terbentuk (sebagai es) di wilayah yang lebih jauh dari jarak Jupiter dan Matahari. Namun sebuah komet, yang juga terbentuk di wilayah yang sama, mampu membawanya lebih dekat ke Matahari lewat perubahan orbit secara gradual akibat gangguan gravitasi planet-planet besar, khususnya Jupiter.


Hantaman sebuah komet di Bumi melelehkan air sebanyak volume Waduk Kedungombo. Maka hantaman jutaan komet membuat Bumi dilimpahi air sedemikian banyak, sehingga tercipta samudra purba yang kini jadi lautan. Hantaman setiap komet juga mentransfer energi tumbukan ke lapisan selubung bumi, yang memberikan tambahan panas adiabatis sehingga memunculkan aktivitas vulkanisme areal (hotspot). Selain mengalirkan magma yang memanaskan samudra purba dan membentuk uap air, vulkanisme juga menyemburkan gas vulkanik, yang bersama uap air membentuk atmosfer purba yang miskin oksigen.


Komet juga membawa senyawa organik dari wilayah tepi Tata Surya, seperti glukosa dan asam amino, ke Bumi sehingga samudra purba menjadi kaya unsur hara yang dibutuhkan makhluk hidup tingkat rendah seperti bakteri anaerob, yang mengembuskan gas oksigen ke atmosfer. Itulah yang membuat Bumi menjadi keajaiban semesta, satu-satunya tempat di Tata Surya yang mampu mendukung kehidupan.


Pemusnahan Massal


Jika semula hantaman boloid, khususnya dari komet, di Bumi menjadi rahmat, setelah makhluk hidup kompleks muncul dan berkembang luas, peristiwa yang sama berubah jadi penebar petaka. Ketika sebuah boloid menghantam Bumi, gas belerang, oksida nitrogen, CO, CO2, karbon, dan debu disemburkan ke atmosfer dan didistribusikan secara global. Gas belerang bereaksi dengan uap air menjadi asam sulfat, yang bersama butir-butir karbon dan debu menjadi tirai penghalang cahaya Matahari yang efektif sehingga permukaan Bumi lebih redup.


Akibatnya, suhu pun menurun drastis sehingga berkecamuklah musim dingin berkepanjangan. Asam sulfat akan terdeposisi ke Bumi sebagai hujan asam. Demikian pula debu dan partikel karbon, sehingga musim dingin berakhir setelah 8-15 tahun.


Namun giliran gas CO2 yang mengambil peranan, sebagai penyekap panas, yang segera menaikkan temperatur permukaan Bumi hingga jauh di atas normal. Menghadapi anomali pendinginan dan pemanggangan seperti itu, banyak makhluk hidup tak bisa bertahan sehingga mengalami pemusnahan massal.


Sejarah Bumi memperlihatkan telah terjadi sedikitnya lima episode pemusnahan massal dramatis; tiga menunjukkan tanda-tanda disebabkan oleh hantaman boloid raksasa. Pemusnahan paling populer, Peristiwa Kapur-Tersier, terjadi 65 juta tahun silam dan melenyapkan 76% populasi satwa dan tumbuhan saat itu, termasuk kawanan dinosaurus.


Peristiwa itu diinisiasi oleh jatuhnya dua boloid dari asteroid bergaris tengah 10 km di Semenanjung Yucatan, Teluk Meksiko, yang membentuk struktur Chicxulub bergaris tengah 300 km dan boloid bergaris tengah 40 km yang menghantam lepas pantai barat India hingga membentuk struktur Shiva yang bergaris tengah 600 km.


Mengingat betapa masif skala yang ditimbulkan, kini manusia merancang program Spaceguard untuk melacak komet/asteroid yang berpotensi menjadi boloid serta bagaimana cara mereduksi potensi bahayanya. Sejauh ini, baru satu asteroid yang dipastikan berpotensi jadi boloid, yakni asteroid Apophis, meski peluangnya menghantam Bumi tahun 2029 atau 2036 tergolong sangat kecil, yakni hanya 0,0004%. (53)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar