Kamis, 07 April 2011

Kondisi Geologi Sungai Boyong - Sungai Code - Sungai Opak Pasca Erupsi Gunung Merapi 2010

Ahmad Zakariya Al Ansori1

1 Student at Geological Engineering Department Gadjah Mada University, corresponding email ZAKARIYA_ADDIMMKI@yahoo.com

I. Pendahuluan

Sungai Boyong, Sungai Code dan Sungai Opak merupakan serangkaian sungai yang berhulu dari lereng Gunung Merapi dan bermuara di Samudra Hindia tepatnya di Pantai Samas Kabupaten Bantul. Sebagai hulu sungai adalah Sungai Boyong yang berada di sebelah selatan lereng Gunung Merapi sampai sekitar Kota Yogyakarta. kemudian Sungai Boyong ini berganti nama dengan Sungai Code yang mengalir di tengah kota Yogyakarta dari sebelah utara sampai dengan daerah Imogiri Kabupaten Bantul. Di daerah Pleret Imogiri Sungai Code ini kemudian bergabung dengan Sungai Opak yang seterusnya sungai ini bermuara di Samudra Hindia.

Letusan Gunung Merapi yang terjadi pada 2010 silam dapat dikatakan letusan yang cukup besar. Letusan ini lebih besar dibanding dengan letusan pada 1872. "Jika diukur dengan indeks letusan, maka letusan pada 2010 ini lebih besar dibanding letusan Merapi yang pernah tercatat dalam sejarah, yaitu pada 1872," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandriyo di Yogyakarta, (Kompas, 9 November 2010). Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan besar indeks letusan adalah dari jumlah material vulkanik yang telah dilontarkan. Pada letusan 1872, jumlah material vulkanik yang dilontarkan oleh Gunung Merapi selama proses erupsi mencapai 100 juta meter kubik. Sementara itu, hingga kini jumlah material vulkanik yang telah dimuntahkan Gunung Merapi sejak erupsi pada 26 Oktober hingga sekarang diperkirakan telah mencapai sekitar 140 juta meter kubik. Material vulkanik yang dikeluarkan mengalir lewat sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi, namun sebagian besar material vulkanik mengarah ke Kali Gendol. Selain Kali Gendol, material vulkanik hasil erupsi merapi juga mengalir ke sungai-sungai lain yang berhulu di lereng Gunung Merapi di antaranya adalah Sungai Boyong.

II. Geologi Umum

Morfologi

Secara umum Yogyakarta dan sekitarnya dibagi dalam enam satuan geomorfologi (Hendrayana, 1993 dalam Ahmad Zakariya, 2010), yaitu :

a. Satuan morfologi puncak Gunung Merapi

Satuan ini merupakan Puncak Merapi dengan ketinggian 1.200-2.633 m dpl. Bentuk bentang alam ini merupakan kerucut gunung api yang membentuk lembah-lembah sempit memanjang membentuk huruf “ V ”, menandakan stadium erosi masih dalam tahap muda. Pada morfologi ini mulai muncul pola penyaluran radier yang memancar keluar dari puncak Gunung Merapi.

Satuan morfologi ini memiliki kemiringan lereng terjal yaitu 25 %-40 %. Satuan ini tersusun oleh batuan hasil endapan vulkanik merapi muda terutama berupa breksi tuff dan endapan vulkanik merapi tua berupa aliran lava andesit dan basaltis. Muka air sungai pada umumnya jauh di dasar lembah dan dipasok oleh air tanah yang mulai terbentuk di daerah dengan kelerangan lebih tinggi pada satuan morfologi ini.

b. Satuan morfologi tubuh Gunung Merapi

Satuan ini terdapat di bagian bawah satuan lereng puncak Gunung Merapi yang merupakan lereng yang elevasinya 600-1.200 meter. Kemiringan lereng berangsur melandai ke arah barat dan selatan dan dibentuk oleh endapan Merapi Muda yaitu berkisar antara 18 %-25 %. Pola pengaliran yang terdapat pada daerah ini adalah sub-paralel dimana air sungainya dipasok oleh air tanah bebas.

c. Satuan Morfologi kaki Gunung Merapi

Satuan ini terbentang hingga dataran Yogyakarta ke arah selatan yang memiliki elevasi sekitar 400-600 m dan kemiringan kurang dari 15 %. Di daerah dengan ketinggian kurang dari 25 meter memiliki bentuk lembah yang menyerupai “V” dengan permukaan air sungainya relatif jauh di dasar lembah. Pola pengaliran yang berlaku di daerah ini berupa sub-dendritik yang mengalir pada satuan vulkanik G. Merapi Muda. Pada daerah ini terdapat penyebaran bahan letusan yang diangkut oleh air hujan. Di daerah ini memiliki sungai-sungai yang pada umumnya sudah berair dan sebagai jalur yang mengangkut bahan hasil letusan. Adapun sungai-sungai tersebut adalah Kali Woro, Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Ledhok, Kali Krasak, Kali Gedhong, Kali Lamat, Kali Sat, Kali Senowo, Kali Srinsing, Kali Apu.

Pola penyaluran sungai secara keseluruhan adalah radial. Sungai di lereng bagian barat dan barat daya umunya bermuara di Progo sedangkan dari lereng timur dan selatan bermuara ke sungai Opak.

Stratigrafi

Menurut Van Bemmelen (1949) daerah Gunung Merapi dibagi menjadi dua satuan, yaitu satuan breksi andesit dan satuan batupasir tufaan.

1. Satuan Breksi Andesit

Satuan Breksi Andesit merupakan satuan yang tertua tersingkap, hal ini disebabkan pada daerah ini terjadinya struktur geologi yaitu pengangkatan. Penyusunan satuan ini terdiri dari breksi andesit, agglomerate dan lelehan lava (termasuk andesit dan basalt yang megandung olivin), (Bemmelen, 1949). Pada satuan ini terdapat batuan dengan resistensi tinggi terhadap pengikisan lahar hujan sehingga mempunyai tebing- tebing sungai yang terjal dan stabil, endapannya tersebar di daerah Turgor, Plawangan dan Kinahrejo.

2. Satuan Batupasir Tufaan

Satuan Batupasir Tufaan terbentuk setelah terjadi pengendapan satuan breksi andesit. Penyusun satuan ini berupa endapan tufa pasir dan breksi yang terkonsolidasi lemah. Banyak breksi yang tidak kompak yang merupakan hasil pengendapan sungai dan perombakan breksi lahar. Terdapat pula endapan longsoran dari awan panas. Penyebaran endapan batupasir tufaan ini merata di bagian puncak hingga kaki.

Provenance

Menurut Allen dan Allen (1990, 2005), yang dimaksud dengan provenance disini adalah the likely source areas of sediment for the basin, (kemungkinan area sumber dari suatu cekungan). Menurut Pettijohn (1957) yang dimaksud dengan Provenance adalah asal mula atau sumber yang di aplikasikan untuk endapan sedimen, terutama mengenai batuan sumber dari material yang terbentuk. Tiap tipe batuan sumber cenderung mempunyai sederetan mineral khusus, oleh karena itu kandungan mineral pada endapan sedimen dapat menunjukkan karakter dari suatu batuan induk. Namun komposisi dari suatu sedimen tidak hanya dipengaruhi oleh batuan sumber, namun juga dipengaruhi oleh kondisi iklim dan relief pada daerah tersebut.

Erosi pada umumnya merupakan proses lanjutan dari proses pelapukan terutama terjadi di daerah dengan relief yang tinggi. Material yang tererosi kemudian membentuk batuan dan fragmen mineral yang mengalami alterasi atau alterasi sebagian. Komposisi dari sisa proses pelapukan dan hasil sedimen sangat dipengaruhi besar oelh kondisi iklim serta relief pada batuan induk.

Iklim, pelarutan mineral lebih intensif pada daerah dengan iklim yang bersifat panas dan humid/ lembab dibandingkan pada daerah dengan iklim semi-arid atau dingin/ polar. Relief daerah asal partikel, mineral yang tidak setabil akan tetap ditemukan sedimen yang partikelnya berasal dari daerah dengan relief tinggi karena selalu ada suplai mineral dari batuan segar walaupun tingkat pelapukannya tinggi, sedangkan daerah dengan relief rendah umumnya batuan segarnya sudah tertutup batuan yang lapuk, sehingga hanya mineral yang stabil yang masih tersisa dan kemudian tertransport.

Jika diamati material yang terdapat disepanjang Kali Boyong, Kali Code dan Kali Opak sebagian besar merupakan material vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi tahun 2010 silam. Material ini masih dalam keadaan lepas-lepas belum mengalami proses litifikasi (pembatuan) penuh. Material yang terdapat disekitar hulu Kali Boyong ukuran material mulai dari pasir hingga Bongkah. Mulai ke arah Kota Yogyakarta memasuki Kali Code material sedimen sebagian besar didominasi Pasir namun masih dijumpai kerikil atau kerakal. Namun memasuki daerah hilir dari Kali Code atau memasuki daerah penggabungan antara Kali Code dengan Kali Opak material sedimen yang dijumpai sebagian besar merupakan material berukuran pasir.

kandungan mineral yang terdapat pada material sedimen merapi meliputi kuarsa, biotit, feldspar, ampibole dan litik. Dari kandungan mineral ini dapat diprediksi bahwa jenis magma yang dihasilkan oleh Gunung Merapi adalah kelompok intermediate. Hal ini didukung dengan magma yang ada merupakan hasil dari proses Partial Melting yang berada di zona subduksi antara lempeng hindia yang menunjam ke bawah lempeng eurasia. Material yang dihasilkan melalui proses erupsi jenis eksplosif dan sebagian dalam bentuk aliran piroklastik. Material – material ini kemudian dialirkan melalui sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Salah satu sungai yang berhulu di Gunung Merapi adalah Kali Boyong dan Kali Gendol yang merupakan hulu kali Opak. Material vulaknik merapi ini mengalami transportasi ke arah hilir dengan terbawa oleh aliran sungai yang mendapat suplai air dari air hujan. Aliran material ini terkadang mengandung material sedimen sangat besar, sehingga aliran ini sering disebut sebagai lahar dingin.


Daftar Pustaka

Pettijohn, F.J, 1957, Sedimentary Rocks, Oxford & IBH Publishing CO: New Delhi, Bombay, Calcuta

Surjono, S.S, Hendra, D.A dan Winardi, Sarju, 2010, Analisis Sedimentologi, Pustaka Geo: Yogyakarta

Van Bemmelen, R.W.,1949, The Geology of Indonesia, Vol.1A, Government Printing Office, The Hauge, Amsterdam

Zakariya, Ahmad A.A, 2010, Laporan Fieldtrip Geomorfologi (Daerah Gunung Merapi-Perbukitan Gendol-Kulon Progo), Tidak diterbitkan, Yogyakarta.

Rabu, 30 Juni 2010

Waktu Geologi dan Geokronologi

Pendahuluan
Konsep waktu (yang benar) ditemukan di Edinburgh pada dekade 1770-an oleh sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh James Hutton. Mereka menantang konsep waktu konvensional yang telah ada di sepanjang sejarah hidup manusia, yang menyatakan bahwa unit waktu terukur adalah rentang hidup manusia dan bahwa umur planet Bumi hanya 6000 tahun (yang dihitung oleh Uskup Ussher berdasarkan kronologi alkitab). Hutton dan kawan-kawan telah mempelajari batuan di sepanjang pesisirSkotlandia dan menyimpulkan bahwa setiap formasi batuan, betapapun tua, adalah hasil erosi dari batuan lain, yang jauh lebih tua. Penemuan mereka memperlihatkan bahwa waktu terentang sangat jauhmelebihi manusia mampu bayangkan. Penemuan tersebut merubah cara pandang manusia terhadap Bumi, planet, bintang, dan juga terhadap kehadiran manusia itu sendiri. Sesungguhnya, konsep waktu yang berdasarkan observasi formasi batuan tersebut berakar dari prinsip paling dasar dalam ilmu Geologi, yaitu prinsip keseragaman (uniformitarianisme), yang menjadi dasar Geologi modern.


Konsep-Konsep tentang Waktu Geologi
Pendapat paling dominan sebelum abad ke-18 dimiliki oleh kelompok gereja berdasarkan kajian tekstual terhadap alkitab, mereka menyatakan umur Bumi tidak lebih tua dari 6.000 tahun. Penciptaan Bumi dan segala isinya dalam waktu sedemikian singkat dipercaya melibatkan proses katastropis. Pendapat ini lazim disebut sebagai teori penciptaan. Salah seorang ilmuwan pendukung teori penciptaan adalah Baron Georges Cuvier (1769-1832). Pengamatannya terhadap kumpulan fosil pada setiap lapisan batuan dianggapnya sebagai bukti adanya peristiwa bencana alam bersifat katastropis yang memusnahkan setiap makhluk hidup di setiap kurun waktu tertentu. Upaya ilmiah untuk menentukan umur Bumi telah dilakukan oleh beberapa ilmuwan. Georges Louis de Buffon (1707-1788) menyatakan Bumi mendingin perlahan-lahan dari suatu bola panas. Dengan membuat percobaan laboratorium dengan beberapa bola besi berbagai diameter dan dibiarkan dingin mengikuti temperatur kamar, de Buffon melakukan ekstrapolasi terhadap diameter Bumi sesungguhnya dan menentukan usia Bumi sekitar 75.000 tahun.

Sekelompok ilmuwan lainnya pada paruh abad ke-18 menghitung kecepatan pengendapan berbagai sedimen dan melakukan ekstrapolasi terhadap ketebalan batuan sedimen yang diketahui saat itu, menghasilkan rerata umur Bumi sekitar 1 juta tahun. John Joly, seorang geolog Irlandia, pada abad ke-19 berasumsi bahwa air laut pada mulanya bersifat tawar namun kemudian menjadi asin akibat mineral garam yang dibawa oleh sungai. Dengan menghitung volume seluruh airlaut yang ada di Bumi, dia menentukan waktu 90 juta tahun untuk lautan mencapai kadar salinitas saat ini, yang kemudian dianggap sebagai umur Bumi. Pada tahun 1785, James Hutton (1726-1797), seorang geolog Skotlandia, berdasarkan studi detail terhadap singkapan batuan dan proses alam yang tengah berlangsung saat itu, mengemukakan prinsip keseragaman (uniformitarianisme). Konsep tersebut menyatakan proses geologi yang sama telah bekerja pula pada waktu lampau, dan Hutton menuliskannya sebagai “we find no vestige of a beginning, and no prospect of an end”. Keunggulan prinsip ini lah yang mengantarkan Hutton sebagai Bapak Geologi Modern.

Pada tahun 1830, Charles Lyell, seorang murid James Hutton, menerbitkan buku “Principles of Geology”. Konsep keseragaman menjadi diterima secara luas oleh kalangan ilmuwan dan usia Bumi yang sangat tua diterima oleh masyarakat. Kelak, buku tersebut juga sangat mempengaruhi teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin pada tahun 1859. Lord Kelvin (1824-1907), seorang fisikawan Inggris yang sangat dihormati, pada tahun 1866 mengklaim telah mematahkan fondasi uniformitarianisme geologi. Beranjak dari asumsi umum bahwa Bumi berawal dari sebuah bola panas, Kelvin menghitung usia terbentuknya Bumi berdasarkan suhu leleh batuan, dimensi Bumi dan koefisien pendinginan. Dia menyatakan umur Bumi tidak mungkin lebih tua dari 100 juta tahun. Pendapat Kelvin membuat masyarakat ilmuwan terbelah, antara mendukung konsep Hutton atau menerima kalkulasi Kelvin (yang tampak sangat logis). Pada akhirnya, kampanye Kelvin selama 40 tahun harus berakhir dengan ditemukannya unsur radioaktif di penghujung abad ke-19. Materi radioaktif dipercaya menjaga panas internal Bumi relatif konstan. Penemuan radioaktif tersebut sekaligus membuat para geolog menghitung umur batuan secara mutlak dan menemukan bahwa Bumi memang sangat tua.

Pendekatan Waktu Geologi
Para geolog menggunakan dua pendekatan berbeda untuk menentukan waktu geologi, yaitu:
1. Penanggalan relatif (relative dating) yang menempatkan berbagai peristiwa geologi dalam urutan kronologis berdasarkan posisinya dalam rekaman data geologi.
2. Penanggalan mutlak (absolute dating) menggunakan berbagai teknik dan hasilnya dinyatakan dalam angka tahun sebelum sekarang. Yang paling lazim adalah penanggalan radiometrik dengan menggunakan unsur-unsur radioaktif di dalam batuan.

Penanggalan Relatif
Sebelum berkembangnya teknik penanggalan radiometrik, para geologi tidak memiliki cara untuk menentukan umur mutlak dan hanya berpegang kepada metode penanggalan relatif. Penanggalan relatif menempatkan berbagai proses geologi dalam urutan kronologis tertentu, metode ini tidak dapat mengetahui kapan suatu proses terjadi di masa lampau.
Ada 6 prinsip yang dipergunakan dalam penanggalan relatif:
1. Prinsip superposition (Nicolas Steno, 1638-1686): dalam suatu urutan batuan sedimen yang belum terganggu, batuan yang paling tua diendapkan paling bawah sedangkan batuan yang paling muda diendapkan paling atas.
2. Prinsip original horizontality (Nicolas Steno, 1638-1686): dalam proses sedimentasi, sedimen diendapkan sebagai lapisan horisontal.
3. Prinsip lateral continuity (Nicolas Steno, 1638-1686): sedimen melampar secara horisontal ke segala arah hingga menipis dan berakhir di tepi cekungan pengendapan.
4. Prinsip cross-cutting relationship (James Hutton, 1726-1797): intrusi batuan beku atau patahan harus lebih muda daripada batuan yang diintrusi atau yang terpatahkan.
5. Prinsip inclusion: suatu inklusi (fragmen suatu batuan didalam tubuh batuan lain) harus lebih tua daripada batuan yang mengandungnya tersebut.
6. Prinsip fossil succession (William Smith, 1769-1839): fosil yang ada di lapisan paling bawah lebih tua daripada fosil pada lapisan paling atas.

Principles of Cross-cutting Relationship and Inclusions

(a)Aliran lava (lapisan 4) membakar lapisan dibawahnya, dan lapisan 5 mengandung inklusi dari aliran lava, sehingga lapisan 4 lebih muda dari lapisan 3 namun lebih tua dari lapisan 5 dan 6.
(b) Lapisan batuan dibawah dan diatas sill (lapisan 3) terbakar, menunjukkan bahwa sill tersebut lebih muda daripada lapisan 2 dan 4, namun umur lapisan 5 terhadap sill tidak dapat ditentukan.







(a) Granit lebih muda daripada batupasir karena batupasir terpanggang pada bidang kontaknya dengan granit dan granit mengandung inklusi batupasir.
(b)Inklusi granit didalam batupasir menunjukkan granit lebih tua daripada batupasir.




Principle of Faunal Succession

















William Smith mempergunakan fosil untuk mengidentifikasi perlapisan yang sama umurnya dari berbagai lokasi terpisah, kelak metode ini dikenal sebagai prinsip faunal succession.



Ketidakselarasan


Siccar Point, Berwickeshire, Skotlandia tenggara.
Disinilah James Hutton, James Hall dan John Playfair pada tahun 1788
menemukan prinsip ketidakselarasan.







Waktu geologis bersifat menerus/kontinyu, namun informasi dimana waktu
tersebut didapatkan berasal dari rekaman batuan yang bersifat tidak
menerus/diskontinyu.
Bidang ketidakmenerusan dalam urutan batuan yang menunjukkan
terganggunya proses sedimentasi dalam waktu yang cukup lama disebut
sebagai bidang ketidakselarasan (unconformity).
Waktu geologi yang hilang dari rekaman batuan, karena tidak adanya
pengendapan batuan, disebut sebagai hiatus.
Sehingga bidang ketidakselarasan bisa juga disebut sebagai bidang dimana
tidak adanya pengendapan (non-deposisi) atau erosi yang memisahkan
batuan yang lebih muda terhadap batuan yang lebih tua.
Terdapat 3 jenis ketidakselarasan:
1. Disconformity (antara 2 unit batuan sedimen yang paralel)
2. Angular unconformity (antara 2 unit batuan sedimen yang menyudut)
3. Nonconformity (antara batuan kristalin dan batuan sedimen)

Meteorit Berjatuhan

PERALIHAN dari April ke Mei 2010 jadi saat yang menghebohkan, ketika empat hari berturut-turut meteorit jatuh di dua tempat. Pertama menghantam sebuah rumah di Kelurahan Malakasari, Durensawit, Jakarta Timur, 29 April pukul 16:15 WIB. Kedua mendarat di punggung bukit Desa Tori, Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, 3 Mei pukul 20:30 WITa.


Kedua peristiwa langka itu memantik rasa ingin tahu khalayak. Bahkan ada yang mengaitkan dengan isu bakal terjadi kiamat tahun 2012, yang tak memiliki dasar ilmiah. Bagi masyarakat Jawa Tengah, peristiwa itu menyegarkan ingatan akan kejadian serupa di lereng Gunung Sumbing sembilan tahun silam.


Meteor adalah setiap benda asing alami, yang setelah mengembara di angkasa masuk ke atmosfer suatu planet hingga berpijar membara dan bercahaya akibat gesekan dengan molekul udara. Meteor dikenal pula sebagai bintang jatuh atau tahi bintang, yang terlihat sebagai goresan bercahaya di langit malam yang muncul sekejap mata dan seterang bintang-bintang. Adakalanya meteor terlihat sangat terang, melebihi Planet Venus, benda langit paling terang ketiga dilihat dari Bumi.


Meteor semacam itu adalah ndaru (fireball), yang memiliki magnitude visual minimal -4. Beberapa ndaru bisa memiliki magnitude visual melebihi -6, sehingga bisa dilihat pada siang bolong, bila kondisi memungkinkan, sebagai objek berekor melintasi langit.


Sebelum memasuki atmosfer, seluruh meteor merupakan meteoroid, dengan ukuran beragam dari sebesar debu (~ 1 mm) hingga melebihi Gunung Everest (~ 10 km). Hampir seluruh meteoroid terbakar habis di atmosfer sebagai meteor karena lebih kecil dari diameter batas. Namun ada meteoroid yang lebih besar dari diameter batas sehingga bisa mencapai permukaan Bumi sebagai meteorit. Jatuhnya meteorit selalu didahului kemunculan ndaru dengan magnitude visual minimal -8 atau seterang Bulan fase perempat.Hampir seluruh meteorit di Bumi berasal dari debu komet atau pecahan asteroid.


Kala komet periodik beredar di orbit, tekanan angin Matahari membuat debu rapuh sehalus bedak terlepas dari permukaannya dan terserak di sepanjang garis edar. Bila Bumi melintasi garis edar itu, debu tersebut menjadi meteoroid yang selanjutnya masuk ke atmosfer sebagai puluhan atau ribuan meteor setiap jam, layaknya hujan, dan seolah-olah berasal dari satu titik di langit. Itulah hujan meteor periodik.


Di sisi lain, kepadatan populasi asteroid di antara orbit Mars dan Jupiter membuatnya berbenturan sehingga pecah berkeping-keping. Karena gangguan Jupiter, orbit pecahan itu berubah secara gradual sehingga bisa membentuk orbit baru yang memotong orbit Bumi. Ketika Bumi tepat melintasi titik potong itu, terjadilah meteor spontan. Meteor spontan tak bisa menciptakan sensasi layaknya meteor periodik, tetapi dengan kecepatan awal lebih rendah serta ukuran dan kepadatan lebih besar membuatnya mampu menghasilkan meteorit.


Samudra Purba


Dalam kondisi tertentu, yakni ketika orbitnya berpotongan dengan orbit Bumi, komet dan asteroid bisa menjadi meteoroid, yang dinamakan boloid. Setiap meteoroid atau boloid dari komet memiliki rentang kecepatan awal 30 hingga 72 km/detik (atau 108.000 hingga 259.000 km/jam) ketika jatuh ke Bumi. Adapun meteoroid atau boloid dari asteroid memiliki rentang kecepatan awal lebih rendah, yakni hanya antara 11 dan 20 km/detik (atau 39.000 hingga 72.000 km/jam).


Boloid dari komet menciptakan sejarah unik dalam dinamika Bumi. Pada masa awal Tata Surya, jutaan komet susul-menyusul menjatuhi Bumi, khususnya pada periode antara 3,9 dan 2,8 miliar tahun silam. Pe-ristiwa itu, yang dinamakan Periode Hantaman Besar, membuat bopeng wajah Bumi. Namun sekaligus menebar rahmat, karena setiap komet mengangkut senyawa terpenting bagi makhluk hidup: air.


Air di Tata Surya hanya terbentuk (sebagai es) di wilayah yang lebih jauh dari jarak Jupiter dan Matahari. Namun sebuah komet, yang juga terbentuk di wilayah yang sama, mampu membawanya lebih dekat ke Matahari lewat perubahan orbit secara gradual akibat gangguan gravitasi planet-planet besar, khususnya Jupiter.


Hantaman sebuah komet di Bumi melelehkan air sebanyak volume Waduk Kedungombo. Maka hantaman jutaan komet membuat Bumi dilimpahi air sedemikian banyak, sehingga tercipta samudra purba yang kini jadi lautan. Hantaman setiap komet juga mentransfer energi tumbukan ke lapisan selubung bumi, yang memberikan tambahan panas adiabatis sehingga memunculkan aktivitas vulkanisme areal (hotspot). Selain mengalirkan magma yang memanaskan samudra purba dan membentuk uap air, vulkanisme juga menyemburkan gas vulkanik, yang bersama uap air membentuk atmosfer purba yang miskin oksigen.


Komet juga membawa senyawa organik dari wilayah tepi Tata Surya, seperti glukosa dan asam amino, ke Bumi sehingga samudra purba menjadi kaya unsur hara yang dibutuhkan makhluk hidup tingkat rendah seperti bakteri anaerob, yang mengembuskan gas oksigen ke atmosfer. Itulah yang membuat Bumi menjadi keajaiban semesta, satu-satunya tempat di Tata Surya yang mampu mendukung kehidupan.


Pemusnahan Massal


Jika semula hantaman boloid, khususnya dari komet, di Bumi menjadi rahmat, setelah makhluk hidup kompleks muncul dan berkembang luas, peristiwa yang sama berubah jadi penebar petaka. Ketika sebuah boloid menghantam Bumi, gas belerang, oksida nitrogen, CO, CO2, karbon, dan debu disemburkan ke atmosfer dan didistribusikan secara global. Gas belerang bereaksi dengan uap air menjadi asam sulfat, yang bersama butir-butir karbon dan debu menjadi tirai penghalang cahaya Matahari yang efektif sehingga permukaan Bumi lebih redup.


Akibatnya, suhu pun menurun drastis sehingga berkecamuklah musim dingin berkepanjangan. Asam sulfat akan terdeposisi ke Bumi sebagai hujan asam. Demikian pula debu dan partikel karbon, sehingga musim dingin berakhir setelah 8-15 tahun.


Namun giliran gas CO2 yang mengambil peranan, sebagai penyekap panas, yang segera menaikkan temperatur permukaan Bumi hingga jauh di atas normal. Menghadapi anomali pendinginan dan pemanggangan seperti itu, banyak makhluk hidup tak bisa bertahan sehingga mengalami pemusnahan massal.


Sejarah Bumi memperlihatkan telah terjadi sedikitnya lima episode pemusnahan massal dramatis; tiga menunjukkan tanda-tanda disebabkan oleh hantaman boloid raksasa. Pemusnahan paling populer, Peristiwa Kapur-Tersier, terjadi 65 juta tahun silam dan melenyapkan 76% populasi satwa dan tumbuhan saat itu, termasuk kawanan dinosaurus.


Peristiwa itu diinisiasi oleh jatuhnya dua boloid dari asteroid bergaris tengah 10 km di Semenanjung Yucatan, Teluk Meksiko, yang membentuk struktur Chicxulub bergaris tengah 300 km dan boloid bergaris tengah 40 km yang menghantam lepas pantai barat India hingga membentuk struktur Shiva yang bergaris tengah 600 km.


Mengingat betapa masif skala yang ditimbulkan, kini manusia merancang program Spaceguard untuk melacak komet/asteroid yang berpotensi menjadi boloid serta bagaimana cara mereduksi potensi bahayanya. Sejauh ini, baru satu asteroid yang dipastikan berpotensi jadi boloid, yakni asteroid Apophis, meski peluangnya menghantam Bumi tahun 2029 atau 2036 tergolong sangat kecil, yakni hanya 0,0004%. (53)